Tidak terasa dua tahun lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dicita-citakan akan kita lintasi. Masyarakat ASEAN seharusnya bergembira. Ya, bagaimana tidak, komunitas regional yang diproyeksikan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN segera siap terwujud[1]. Namun pertanyaannya, apakah negara-negara ASEAN telah siap berbagi “kue” tujuan yang telah berasama disepakati? Atau egoisme memperkaya negara sendiri menjadi nahkoda dari bergeraknya “kapal” besar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?
Namun, tinta hitam tandatangan para “pembesar” telah tertulis. Bali pada tahun 2003 lalu telah menjadi saksi tekat para kepala negara ASEAN mempercepat terbentuknya MEA di tahun 2015. Pena takdir telah diangkat, tinta abadi takdir Allah pun telah mengering, bahwa MEA memang keniscayaan yang harus ditempuh oleh Indonesia sebagai anggota. Tidak semua rintangan, lebih kepada tantangan yang harus menjadi triger memajukan dan meraih tujuan bersama yang telah termaktub dalam blue print MEA 2015. Lalu sebatas apa Indonesia siap?
Dampak utama MEA adalah semakin terjadinya liberalisasi ekonomi dikawasan ASEAN. Blue Print MEA 2015 memberikan panduan bahwa akan terjadi arus bebas ekonomi setidaknya dari beberapa hal; barang, jasa, investasi, modal dan yang terpenting dalam pembahasan ini adalah investasi ataupun modal yang lebih spesifik pada usaha perbankan. Bila tidak bersiap tentu 40% “kue ekonomi” ASEAN di Indonesia akan “dicaplok” negara- negara tetangga.
Salah satu negara yang menjadi kompetitor perbankan syariah Indonesia adalah Malaysia. Industri perbankan kedua negara ini akan menjadi motor penggerak Perbankan Syariah di ASEAN.
Perbankan Syariah Indonesia
Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim membuat negara ini menjadi pasar terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Besarnya populasi Muslim itu memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Di Indonesia, bank syariah pertama baru lahir tahun 1991 dan beroperasi secara resmi tahun 1992. Setelah terbukti mampu bertahan pada masa krisis 1998, barulah pemerintah mengeluarkan UU No.10 Tahun 1998 yang memperbolehkan bank melakukan transaksi syariah (dual banking system). Sejak itulah banyak bermunculan bank-bank syariah di Indonesia.
Saat ini perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat dari sisi jaringan kantor sebagai efek dari meningkatnya kebutuhan masyarakat dengan layanan perbankan yang Islami. Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dipublikasikan BI menunjukkan bahwa sampai Oktober 2012, jaringan kantor dengan layanan syariah mencapai 2.574 unit dan jumlah bank syariah telah mencapai 191 unit. Dengan rincian 11 unit adalah Bank Umum Syariah (BUS), 24 unit bank sebagai Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156 merupakan Bank Perkreditan Rakyat Syariah2[2]. Pertumbuhan jumlah dan jaringan kantor bank syariah tersebut di samping sesuai dengan potensi pengembangan perbankan syariah di sejumlah daerah, juga tidak terlepas dari kebijakan BI yang mendukung perluasan jaringan kantor syariah khususnya di luar ibukota provinsi. Dengan demikian jaringan perbankan syariah hadir di hampir sebagian besar provinsi di Indonesia
Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011 menunjukkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusifitas dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia. Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia juga terlihat dalam meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar2. Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya akan meningkat signifikan.
Perbankan Syariah Malaysia
Selama 30 tahun lebih, industri perbankan syariah di Malaysia telah mencapai kemajuan yang cukup pesat sejak berdirinya bank syariah yang pertama pada tahun 1983. Semenjak ditetapkannya peraturan Islamic Banking Act 1983 yang meliberalisasi sistem keuangan Islam, semakin banyak institusi keuangan Islam berdiri dan berkembang. Liberalisasi ini mendorong pada institusi keuangan global menjadikan Malaysia sebagai salah satu tujuan utama mereka dalam mendirikan usaha perbankan syariah.
Berbagai lompatan dari inisiatif dalam pengembangan sistem keuangan Islam di Malaysia ditunjukkan dengan kontribusi sektor keuangan Islam pada pertumbuhan ekonomi Malaysia yang cukup signifikan. Sektor keuangan Islam memberikan value-added pada gross domestic product (GDP) dengan tingkat rata-rata 32% per annum, dan berkontribusi sebesar 2,1% bagian dari GDP Malaysia pada tahun 2009, dibandingkan pada tahun 2000 yang hanya sebesar 0,3%. Hal ini juga meningkatkan jumlah lapangan kerja pada sektor keuangan Islam yang berkontribusi sebesar 11% dari total lapangan kerja sektor keuangan. Dari sisi internasional, Malaysia berevolusi menjadi salah satu pusat keuangan Islam internasional. Hal ini ditunjukkan dengan menjadi pasar sukuk terbesar di dunia dengan market share 65% (US$96 miliar tahun 2010)[3] dan masuk dalam top investment destinations for islamic funds.
Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GFIR) tahun 2011 yang tertuang pada Islamic Finance Country Index (IFCI), Malaysia menduduki peringkat kedua setelah Iran yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah[4]. Penilaian ini berdasarkan beberapa aspek dalam perhitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga non-bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar.
Sedangkan, apabila dilihat dari tabel Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah[5], Malaysia menduduki peringkat ketiga setelah Iran dan Saudi Arabia. Terlihat pada tabel tersebut, total aset keuangan syariah Malaysia meningkat dari US$86,2 miliar pada tahun 2009 menjadi US$102,6 miliar pada tahun 2010, walaupun peringkat tetap pada posisi ketiga. Melalui peringkat yang cukup tinggi ini menjadikan Malaysia termasuk global player dalam industri keuangan syariah dunia. Malaysia yang tergolong tinggi ini didorong oleh dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total aset Malaysia tergolong besar.
Selain itu, tiga bank syariah Malaysia mampu menempatkan diri pada Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar 2009-2010[6]. Tiga bank tersebut antara lain, Bank Rakyat Malaysia yang berada pada urutan ke-15 pada tahun 2010, Maybank Islamic Berhad yang berada pada urutan ke-17 pada tahun 2010, dan CIMB Holdings yang berada pada urutan ke-23 pada tahun 2010.
Malaysia selalu berupaya mempertahankan dan mendorong terus pertumbuhan sektor keuangan Islam Malaysia. Upaya ini diwujudkan dalam langkah nyata dengan didirikannya Malaysia International Islamic Financial Centre (MIFC) pada tahun 2006. Dengan adanya MIFC ini telah meningkatkan ketertarikan komunitas global keuangan Islam. Agenda MIFC adalah menyajikan platform bagi Malaysia agar melakukan pencapaian yang lebih pada jasa keuangan Islam pada pasar domestik maupun regional. Selain itu, Malaysia juga mengembangkan kerangka standar internasional dan pengaturan regulasi melalui Islamic Finance Services Board (IFSB). Untuk melakukan transfer of knowledge didirikan pula pusat pengembangan pendidikan berbentuk universitas global, the International Centre for Education in Islamic Finance (INCEIF). Pada tahun 2010, juga didirikan International Islamic Liquidity Management Corporation (IILM) untuk memfasilitasi pengelolaan efisiensi pada likuiditas institusi keuangan Islam. Loncatan besar lainnya, yaitu didirikannya Bloomberg-AIBIM-Bursa Malaysia Sovereign Shariah Index (BMSSI) di awal 2011 untuk memfasilitasi perdagangan pada pasar sukuk.
Perbandingan
Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
Dengan menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional. Namun dari sisi net operational margin (NOM), beberapa bank syariah lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, return on asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, namun dari sisi return on equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.
Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator net operational margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE . Tak heran jika banyak investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia. Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.
Kelemahan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga ‘maqasid syariah’. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan. Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain.
Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrumen bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap SDI dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disadari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat pusat-pusat pendidikan dan pelatihan keuangan dan perbankan syariah berada di luar negeri seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Malaysia.
Penutup
Seacara logika untuk mengurusi dan merebut pasar domestik saja para praktisi Perbankan syariah Indonesia saja masih ‘gelabakan’, ini dengan kondisi sebagian besar target pasar adalah orang islam. Apalagi harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai contoh negara malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya terhadap pengembangan perekonomian secara syariah, sedangkan di Indonesia?
Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi perbankan syariah Indonesia?Ataukah tunas perkembangan perbankan syariah ditanah air akan sirna olehnya?
Sehingga pada akhirnya usaha untuk meng-upgrade diri sendiri, menularkannya pada orang lain dan seluruh masyarakat indonesia dengan bantuan penuh pemerintah menjadi ujung tombak untuk mengubah status tidak siap menjadi siap menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan kita songsong mulai 2015 kelak. Bersiaplah memanfaatkan, atau kita yang dimanfaatkan.
Referensi
Alamsyah, Dr. Halim. 2012. Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. (Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012).
Bank Indonesia: Statistik Perbankan Syariah Oktober 2012
Blue Print Masyarakat ASEAN
Central Bank of Malaysia (Bank Negara Malaysia): Annual Report 2011.
Central Bank of Malaysia (Bank Negara Malaysia): Financial Sector Msterplan 2001.
Central Bank of Malaysia (Bank Negara Malaysia): Financial Sector Blueprint 2011-2020.
http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=li&cat=islamic&type=IB&fund=0&cu=0
http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=fs_mfs&pg=fs_mfs_bank&lang=en
[1] Blue Print Masyarakat Ekonomi Asean
[2] Lihat Bagan 4
[3] Lihat Bagan 1 (Lampiran)
[4] Lihat Grafik 1 (Lampiran)
[5] Lihat Tabel 1 (Lampiran)
[6] Lihat Tabel 2 (Lampiran)
Lampiran
Bagan 1. Marketshare Sukuk berdasarkan Negara
Grafik 1. Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)
Tabel 1. Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah
Sumber: Maris Strategies & the Banker, 2010
Tabel 2. Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar, Tahun 2009-2010
Sumber: Maris Strategies & the Banker, 2010
Tabel 3. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara
Tabel 4. Jaringan Kantor Perbankan Syariah